Minggu, 17 Juni 2018

Belajar dari Anjing Pemburu


Belajar yuk dari anjing pemburu, yang kami sebut kali ini dan ada 10 faedah menarik.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖقُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙوَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖفَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖوَاتَّقُوا اللَّهَ ۚإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang pemburu itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS. Al-Maidah: 4)
Allah mengatakan kepada Nabinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mereka bertanya kepadamu tentang makanan yang dihalalkan untuk mereka.” Yang dihalalkan adalah makanan yang thayyib, yaitu makanan yang penuh manfaat dan kelezatan di dalamnya dan makanan tersebut tidak mengandung mudarat pada badan dan akal. Yang thayyib ini bisa kita temukan pada biji-bijian dan buah-buahan yang ada di daratan. Termasuk juga yang thayyib adalah berbagai hewan yang ada di darat dan laut. Yang dikecualikan di sini adalah hewan yang syari’at mengecualikannya seperti binatang buas dan berbagai hewan yang khabits.

Ayat ini menjelaskan bahwa secara mafhum, setiap yang khabits itu diharamkan. Allah Ta’ala berfirman,

يُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan yang menghalalkan segala yang baik (thayyib)bagi mereka dan yang melarang segala yang buruk (khabits) bagi mereka.” (QS. Al-A’raf: 157)

Juga dihalalkan bagi mereka hasil buruan dari hewan pemburu yang telah diajarkan dan dilatih. Dan ada sepuluh pelajaran penting dari hewan pemburu tersebut sebagai berikut.

Pertama:
Allah begitu menyayangi hamba-Nya di mana banyak sekali yang halal diberikan kepada kita. Hasil tangkapan hewan pemburu ini bukan diperoleh dengan proses penyembelihan. Contoh yang bisa dijadikan hewan pemburu: anjing, macan, burung elang, serta hewan lainnya yang memiliki taring dan cakar untuk menerkam mangsa.

Kedua:
Hewan tersebut sudah diajarkan dan dilatih. Kalau disuruh berburu, maka hewan tersebut langsung lepas mencari mangsanya. Kalau disuruh berhenti atau dilarang, maka hewan tersebut berhenti. Kalau hewan buruan berhasil ditangkap, maka hewan pemburu tadi tidak memakannya untuknya sendiri. Makanya Allah sebutkan,

تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖفَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ

kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.” Berarti hewan pemburu ini menangkap hewan buruan untuk majikannya.

Ketiga:
 Yang jadi hewan pemburu adalah anjing, burung, atau semacamnya yang bisa menangkap dengan taring atau cakarnya, bukan bisa melilit mangsanya seperti istilah hewan al-munkhaniqah dalam surah Al-Ma’idah ayat ketiga.

Keempat:
Dibolehkan memelihara anjing pemburu sebagaimana ada hadits shahih yang mendukung hal ini. Padahal asalnya memelihara anjing itu diharamkan. Kalau boleh menggunakannya sebagai hewan pemburu dan boleh melatihnya, konsekuensinya berarti boleh memelihara hewan tersebut.

Kelima:
Yang disentuh oleh anjing pemburu itu suci. Karena Allah membolehkannya dan tidak ada perintah untuk membersihkannya. Maka menunjukkan bekas tangkapannya (walau kena air liurnya) itu suci.

Keenam:
Ayat ini menunjukkan keutamaan ilmu. Karena hewan pemburu yang sudah dilatih (karena diajarkan), hasil tangkapannya dihalalkan. Hewan yang tidak dilatih seperti ini, tidak dihalalkan hasil tangkapannya.

Ketujuh:
Menyibukkan diri untuk melatih anjing, burung, atau selainnya sebagai hewan pemburu tidaklah tercela dan ini bukan berarti sia-sia atau tergolong sebagai suatu kebatilan.

Kedelapan:
Dalil ini sebagai dalil bagi sebagian ulama yang membolehkan jual beli anjing pemburu. Karena untuk memiliki anjing semacam itu hanyalah lewat jalan jual beli.

Kesembilan:
Disyaratkan membaca tasmiyyah(bismillah) ketika melepas hewan pemburu. Kalau tidak sengaja membaca bismillah, hasil tangkapan hewan pemburu tidaklah halal.

Kesepuluh:
Dihalalkan makan hasil tangkapan hewan pemburu, baik ketika ditangkap dalam keadaan mati ataukah hidup.

Di akhir ayat disebutkan, “Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Allah memerintahkan kita untuk bertakwa dan diingatkan akan hisab pada hari kiamat. Dan kiamat itu semakin dekat.
Demikian disarikan dari Tafsir As-Sa’di, hlm. 221 karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
Wallahu a’lamWalhamdulillah, jadi ilmu bermanfaat dari satu ayat. Moga jadi pelajaran-pelajaran yang berharga dan bermanfaat.

Referensi:
Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Diselesaikan pada Jumat siang, 23 Ramadhan di rumah tercinta @ Dusun Warak, Desa Girisekar, Panggang, Gunungkidul
Artikel Rumaysho.Com


Sumber : https://rumaysho.com/17609-renungan-29-belajar-dari-anjing-pemburu.html

Jumat, 15 Juni 2018

Mengenal Allah Hanya di Bulan Ramadhan Saja

Bulan Ramadhan adalah bulan tarbiyah yang mendidik kita agar terbiasa melakukan berbagai amal shalih, menjadi lebih baik dan meninggalkan segala maksiat yang merugikan diri sendiri. Harusnya setelah Ramadhan, seorang muslim menjadi lebih baik, akan tetapi -wal ‘iyadzu billah-  ada juga orang yang setelah Ramadhan kembali menjadi buruk bahkan lebih buruk daei sebelumnya. Ramadhan hanya ia gunakan momentum sesaat untuk mengenal Allah dan setelah Ramadhan ia berniat untuk kembali bermaksiat kepada Allah dan melupakan Allah sebagai penciptanya.

Terdapat sebuah ungkapan dari salaf kita:
ﺑﺌﺲ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﻌﺮﻓﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ
“Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan saja.”
Syaikn Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa makna ungkapam ini adalah benar apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban agama setelah ramadhan. Semisal Ramadhan rajin shalat dan memakai jilbab, namun setelah Ramadhan shalat bolong-bolong dan kembali melepas jilbab. Beliau menjelaskan,
ﻭﻫﺬﺍ ﺻﺤﻴﺢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻀﻴﻌﻮﻥ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻻ، ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺘﺮﻛﻮﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﺎﻟﻘﻮﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺑﺼﺤﻴﺢ، ﻟﻜﻦ ﻣﺮﺍﺩﻩ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺘﺮﻛﻮﻥ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ، ﻳﻌﻨﻲ : ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻳﺘﺮﻙ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﻯ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﺜﻼً، ﻓﻬﺬﺍ ﺑﺌﺲ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻷﻧﻬﻢ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﺑﻬﺬﺍ
“Ungkapan ini adalah benar apabila mereka melalaikan kewajiban-kewajiban agama. Apapun jika tidak, ia hanya meninggalkan sebagian perkara ijtihad. Ungkapan ini adalah benar, akan tetapi maksudnya adalah meninggalkan hal-hal wajib, semisal shalat pada bulam Ramadhan kemudian ia tinggalkan shalat selain bulan Ramadhan, maka ini adalah sejelek-jelek kaum karena mereka telah melakukan kekafiran.”[1]
Meninggalkan shalat sangat berbahaya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ ﻭَﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ
“(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”[2]
Yang sebelumnya melakukan shalat kemudian tidak melakukannya lagi diibaratkan pintalan yang rapi kemudian terurai dan tercerai berai.
Allah ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻛَﺎﻟَّﺘِﻲ ﻧَﻘَﻀَﺖْ ﻏَﺰْﻟَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻗُﻮَّﺓٍ ﺃَﻧْﻜَﺎﺛًﺎ
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. (Qs. an-Nahl: 92)
Hendaknya kita sangat berhati-hati dan semoga Allah menolong kita, agar kita tidak berniat jelek, yaitu hanya ingin meninggalkan maksiat di bulan Ramadhan saja, sedangkam selepas Ramadhan kita berniat melakukannya lagi.
Ibnu Taimiyyah berkata,
من يعزم على ترك المعاصي في شهر رمضان دون غيره فليس هذا بتائب مطلقاً ولكنه تارك للفعل في رمضان
“Barangsiapa bertekad meninggalkan maksiat di bulan Ramadhan saja, tanpa bertekad di bulan lainnya, maka ia bukan seorang yang bertaubat secara mutlak, akan tetapi ia hanyalah sekedar orang yang meninggalkan perbuatan maksiat di bulan Ramadlaan”[3]
Semoga kita bisa menjadi bulan Ramadhan dnn puasa sebagai peningkat ketakwaan kita karena inilah tujuannya sebagaimana dalam Al-Quran:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 183)
@ Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Catatan kaki:
[2] HR. Muslim
[3] Al-Majmu’ Al-Fatawa 10/743